Advertisement

TENTANG (CITA-CITA) MENJADI PENULIS #30DaysWritingChallenge


Minggu pagi kemarin, aku bangun tidur dengan perasaan gundah. Tiba-tiba mataku berair dan aku merasa sebagai manusia yang gagal. 

Seketika aku meraih handphone dan mengirim pesan singkat ke seorang kerabat dekat dan seorang kawan. Dalam pesan tersebut, aku mengeluh, aku merasa seperti manusia gagal. Respon kedua orang tersebut hampir mirip; memberikan aku semangat dan tidak boleh menyerah begitu saja. 

Sembari mengetik kata per kata, aku pun menangis tersedu-sedu. Seolah air mata yang kutahan selama ini memaksa untuk tumpah semua. Otakku juga melakukan semacam rewind untuk mengurai kembali apa yang salah pada perjalanan hidupku. 

Sebenarnya alasanku menyatakan bahwa aku manusia gagal adalah karena aku merasa apa yang aku lakukan dan impikan jauh dari ekspektasiku sendiri. Hampir semua yang aku inginkan, hampir selalu gagal aku raih. Selama ini aku terlalu sibuk memenuhi ekspektasi orang lain, sehingga lupa pada keinginan sendiri. Sekalinya ingin keluar dari "kerangkeng" ekspektasi itu, aku merasa sudah terlambat untuk memulai mewujudkan keinginanku sendiri. Akhirnya, aku merasa seperti orang yang tak berguna. 

Jujur saja, aku punya cita-cita menjadi seorang penulis buku. Tapi sayangnya, aku merasa bahwa cita-cita itu sulit terwujud. Selain karena minimnya pengalaman, rasanya sudah terlambat jika memulainya di usiaku yang cukup matang sekarang. Pengalamanku dalam menulis (secara komersial) paling mentok cuma menulis artikel di media online nasional, itupun belum banyak. Bahkan, beberapa hari lalu, aku membaca diskusi di sebuah forum online, bahwa menjadi seorang penulis itu susah-susah gampang. Kebanyakan orang jadi penulis buku itu karena sudah 'punya nama' dulu. Jika ada yang langsung menjadi penulis buku tanpa embel-embel itu, maka itu langka. Langka sekali. Karyanya harus sangat bagus.

Nah, sedangkan bidang keilmuan yang aku ambil saat kuliah sangat jauh dari itu. Dan kehidupan seolah memaksaku untuk menggeluti bidang sesuai jurusan kuliah yang notabene masih setengah hati aku jalani. Karena setengah hatiku ada di dunia tulis-menulis. 

Aku dilema. Aku dihadapkan pada dua pilihan yang... berat, menurutku. Jika diibaratkan pasangan, bidang keilmuanku itu adalah laki-laki kaya hasil perjodohan yang mana menjanjikan kehidupan layak dan realistis, sedangkan dunia tulis-menulis adalah laki-laki miskin yang kucintai namun belum jelas masa depannya. 

Itulah kenapa aku tiba-tiba merasa galau dan panik. Namun, di tengah ketidakyakinanku itu ternyata masih ada orang-orang yang peduli dan meyakinkanku bahwa aku tidak boleh menyerah begitu saja. Bahkan ada yang bilang, setiap pilihan ada risikonya, maka harus segera mengambil sikap. Aku seakan mendapatkan sedikit energi. 

Posting Komentar

0 Komentar