Advertisement

ORANG-ORANG ASBUN #30DaysWritingChallenge

Pada suatu malam, aku tidak bisa tidur. Karena bosan, aku menghubungi seorang kawan nun jauh di sana. Seorang kawan lama yang masih kadang kontak-kontakan denganku, sejak 11 tahun yang lalu. Sebelum meneleponnya, terlebih dahulu aku menghubunginya via DM Instagram. Setelah basa-basi sebentar, kami pun terlibat percakapan yang cukup panjang malam itu.

Aku : Halo.

Si kawan : Halo, Icha. Sorry, baru pulang. Belum istirahat? Biasanya jam segini udah istirahat.

Aku : Belum, tadi gak sempat ***** ****. Kalo ***** sekarang, udah telat.

Si kawan : Oh gitu. Wah, parah juga sih kalo mesti ***** **** terus.

Aku : Iya.

Si kawan : Jangan dibiasain, bahaya ntar.

Aku : Iya, harusnya.

Si kawan : Btw, apa topik kita malam ini? Kamu lagi sibuk apa aja sekarang?

Aku : Lagi seneng baca buku aja.

Si kawan : Buku apa? Buku tentang ***, ya?

Aku : Duh, lagi mikirin nasib sendiri.

Si kawan : Iya, jangankan nasib ******, nasib diri sendiri aja belum jelas. Hahaha.

Aku : Hahaha.

 

Tiba-tiba ia beralih topik.

Si kawan : Aku punya junior. Kebetulan dia lanjut kuliah di sini. Sebelumnya dia kuliah di daerah asalnya. Dia itu masih terbawa sama budaya sana. Berlagak sok aktivis, sok paling hebat, sok paling kenal orang hebat. Di media sosialnya juga ia mencitrakan dirinya seperti itu. Pernah suatu kali aku mengajaknya ngobrol. Aku coba mengkritik sekaligus memberi ia saran, bahwa selama di sini kalo bisa berperilaku lah seperti dimana ia berada. Dia sudah di sini, jangan lagi membawa-bawa tabiat orang sana. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung lah, ibaratnya.

Aku : Lha, koq sama? Di sini juga banyak tipikal orang kayak gitu. Banyak yang sok aktivis. Masih membawa-bawa kebiasaan saat jadi mahasiswa, masih mengagung-agungkan pernah ikut organisasi, dan sebagainya.

Si kawan : Merasa sok paling tahu, padahal masih piyik. Seolah mereka lebih tahu dari orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing. Doyan mengkritik, koar-koar di jalan, merusak fasilitas umum, merugikan orang lain. Yang aku lihat setiap kali ada mahasiswa yang turun aksi itu biasanya sebagai ajang untuk melatih mental, unjuk jago orasi, eksistensi diri, dan pamer bendera organisasi. Aku coba amati psikologis mereka, rata-rata yang jadi aktivis saat mahasiswa gitu itu biasanya saat SMA duduknya paling belakang, nilai akademiknya rendah, dan bandel di sekolah. Intinya, yang tidak diperhitungkan sama sekali. Kebetulan pada saat mahasiswa ada wadah untuk unjuk eksistensi hanya dengan modal bacot—tanpa mengandalkan akademik, maka jadilah mereka aktivis. Nggak susah koq itu. Setiap turun aksi, mereka hanya tahu satu hal: hak untuk menyatakan pendapat di muka umum. Tapi mereka tidak tahu ada hak-hak orang lain yang mereka langgar, seperti merusak fasilitas umum dan mengganggu kelancaran lalu lintas. Makanya wajar saja polisi membubarkan mereka dengan paksa dan agak keras, karena mereka juga susah untuk dikasih tahu. Ilmu masih seupil, udah sok paling tahu segalanya.

Aku : Hahaha. Kenapa ya orang sana begitu semua? Itu kadang bikin aku heran.

Si kawan : Orang-orang sana emang gitu. Mereka masih pake cara lama. Masih suka menjilat. Jika berfoto dengan seseorang, misalnya, seolah ada kebanggan tersendiri. Maka orang-orang yang melihatnya akan menganggap dia dekat dengan orang tersebut. Sok paling jago hanya dengan bermodalkan itu. Orang lain dianggap rendah.

Aku : Emang mereka nggak mikir, zaman sudah berubah? Cara-cara seperti itu sudah ketinggalan zaman. Atau mungkin karena mereka keterbatasan informasi? Nggak mau belajar? Nggak mau membuka diri?

Si kawan : Bisa juga karena itu. Mungkin karena kurangnya pengetahuan juga. Ya, hanya sampai di situ saja kemampuannya.

Aku : Mungkin, ya.

Si kawan : Aku pernah mengadakan pertemuan waktu masih di sana. Pertemuan dengan tujuan mendukung perwakilan dari daerah kami. Di situ aku coba mengorganisir orang-orang untuk menyatukan suara. Yang lucu adalah, saat diberi kesempatan untuk bicara, beberapa orang malah keluar topik, bahkan ada yang mengeluhkan tentang suatu hal yang nggak ada hubungannya sama sekali dengan topik yang sedang dibicarakan.

Aku : Hahaha. Aku kalo misalnya sedang berada dalam sebuah forum diskusi gitu, trus ada yang keluar topik, aku biasanya tiba-tiba ingat Sidang Skripsi atau Tesis. Nah, biasanya penelitian itu kan ada yang namanya ruang lingkup substansi. Jika ada yang membahas di luar substansi, biasanya akan langsung di-cut sama dosen atau pertanyaannya nggak akan dijawab.

Si kawan : Lha, iya. Makanya saat penutupan pertemuan itu, aku kembali fokus ke topik pembahasan. Mengenai pertanyaan dan curhatan orang-orang tadi, aku hanya menanggapi seperlunya saja.

Aku : Aku jadi tiba-tiba ingat waktu rapat di kantor. Masing-masing kami diberi kesempatan untuk bicara. Nah, rata-rata pada keluar topik. Aku jadi ngerasa bodoh sendiri. Masalahnya, mereka emang jago ngomong, tapi nggak ada poinnya. Ini pada ngomong apa sih? Lembaga kita di bidang apa, mereka ngomongnya malah ngalor-ngidul. Yang mereka tunjukkan hanya “gimana terlihat jago ngomong”, tapi nggak ada poinnya. Aku bahkan disemprot sama si boss, katanya, “Icha, kamu ini beneran lulusan anu? Koq kamu nggak bisa ngomong?”. Aku kaget dong! Yang ditekankan hanya “jago ngomong” aja.

Si kawan : Ya, begitulah. Mereka setipe. Masih menggunakan cara lama.

Aku : Aku jadi merasa salah tempat.

Si kawan : Mereka melihat kamu yang diam dan terlihat polos gitu dikiranya nggak tahu apa-apa.

Aku : Ya, makanya. Harusnya, kalo orang yang ngerti nih, ya, harusnya mikir gini, “Nih anak pernah merantau, pernah kuliah di kampus anu, sudah ke anu, pasti sudah bertemu dengan beragam karakter manusia, pasti sudah punya pengalaman, pasti banyak tahunya”.

Si kawan : Justru mereka yang harusnya banyak nanya ke kamu, gali pengalaman kamu. Bukan malah menceramahi kamu seolah kamu nggak ngerti apa-apa.

Aku : Jadinya diketawain, deh. Tiap kali ngomong, yang keluar nggak berbobot sama sekali. Ketahuan deh bodohnya.

Si kawan : Masalahnya, mereka nggak introspeksi diri. Nggak mau ngaca. Seolah paling tahu segalanya. Orang lain dianggap rendah dan nggak tahu apa-apa.


Pembicaraan kami masih berlanjut hingga hampir 5 jam lamanya.

Pagi pun menjelang. Gelap perlahan berganti terang. Kami pun saling pamit untuk istirahat sejenak sebelum berlanjut ke aktivitas-aktivitas berikutnya.

Posting Komentar

0 Komentar