Advertisement

NEGERI MASKULIN #30DaysWritingChallenge


Alkisah di sebuah negeri, hiduplah sekelompok manusia yang terdiri dari beberapa orang laki-laki dan beberapa orang perempuan. Kelompok tersebut diketuai oleh salah seorang laki-laki di antara mereka. Sang ketua yang mengaku telah memiliki banyak prestasi dan pencapaian, selalu menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih pintar dari siapapun yang ada di negeri itu. Sampai-sampai, ia merasa berhak mengatur semua bawahannya sesuai dengan keinginannya. Jika ada yang melanggarnya, maka tak segan-segan ia mendepak orang itu dari kelompoknya.

Sang ketua yang merasa paling pintar dan tinggi hati itu sangat amat seksis dan misoginis. Perlakuannya terhadap laki-laki dan perempuan amatlah berbeda. Sebagai laki-laki, ia cenderung lebih membela kepentingan kaumnya saja. Oleh karena itu, sedemikian rupa ia mengatur kelompoknya agar perempuan tidak terlalu menonjol dari laki-laki. Perempuan hanya boleh beraktivitas di bawah komando dan kontrol laki-laki. Kalau tidak, maka habislah riwayat si perempuan tersebut.

Banyak di antara anak buahnya yang laki-laki memanfaatkan celah itu. Dengan cerdik, mereka menggunakan itu untuk lari dari tanggung jawab pekerjaan yang seharusnya dibebankan pada mereka. Masing-masing mereka dengan lihai mencari-cari alasan pada sang ketua. Sang ketua yang dihimpit oleh kekuasaan sekaligus tanggung jawab akhirnya tidak punya pilihan lain selain memanfaatkan anak buahnya yang tersisa. Mereka yang tersisa adalah mereka yang sadar akan tanggung jawab, yang berada di dalam kelompok itu karena terpaksa, dan yang memiliki banyak tanggungan lain sehingga membutuhkan sumber penghidupan dan tidak punya pilihan lain selain menuruti perintah sang ketua. Dan sayangnya, kebanyakan dari mereka adalah perempuan.

Karena keadaan yang seperti itu, sang ketua yang tidak ingin tercoreng egonya, mau tidak mau harus tetap menjalankan pemerintahan di negeri tersebut. Sebagian besarnya adalah atas perintah dan titah langsung dari dia. Maka ia mulai bermanuver demi keuntungan ia sendiri. Ia mulai mengatur agar yang laki-laki dibiarkan sebebas-bebasnya selama masih dalam kontrol dia, sedangkan yang perempuan didomestikasi dan direduksi kemampuannya.

Para anak buahnya diperlakukan seperti robot dan tidak diberi kesempatan untuk mengasah kreativitasnya. Mungkin sang ketua berpikir, kalau ada yang terlalu kreatif dan menghasilkan prestasi, maka nama orang itu akan bagus, sehingga akan menutupi nama dia yang sudah sangat termasyhur itu. Maka ia tidak akan membiarkan orang itu berkembang dan harus tetap di bawah kontrolnya. Padahal, tidak semua orang seambisius dia. Banyak di antara mereka sebenarnya yang bekerja demi uang dan aktualisasi diri. Urusan prestasi dan pencapaian, itu hanyalah bonus dan secara otomatis akan mengikuti.

Di antara bawahannya yang tersisa dan mayoritas perempuan itu, ada dua perempuan yang tidak ingin dikekang dan diatur oleh sang ketua. Bagi mereka berdua, sang ketua itu tidak lebih dari 'katak dalam tempurung' yang egois dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. Dan mereka tidak sudi dikontrol oleh orang seperti itu. Salah seorang dari keduanya akhir memutuskan keluar dari kelompok itu. Ia memilih mempertahankan idealismenya daripada menjadi jongos seseorang yang ia anggap tidak lebih tinggi dari dirinya. Sedangkan rekannya memilih untuk bertahan karena alasan lain, walaupun masih saja harus ‘perang dingin’ dengan sang ketua sampai waktu berakhir.

Di negeri maskulin, tidak ada tempat bagi perempuan. Karena dengan label “maskulin” saja, ketidakadilan itu sudah tampak. Perempuan yang ingin berdaya, tetap akan dibatasi kemampuan dan ruang geraknya, diseragamkan dengan perempuan lain sesuai standar negeri maskulin yang menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua. Kemampuan dan keahlian perempuan dianggap tidak lebih dari sekadar alat untuk mengangkat dan memberi makan ego laki-laki. Di negeri maskulin, nilai kemanusiaan perempuan hanya sebatas itu saja.

Posting Komentar

0 Komentar