Advertisement

MENGELUH #30DaysWritingChallenge

Ada yang bilang bahwa jangan mengeluh. Karena mengeluh tidak menyelesaikan masalah. 

Nampaknya, pernyataan itu kurang tepat. Pernyataan itu seolah menyiratkan bahwa tidak boleh mengeluh SAMA SEKALI. Seolah sebagai makhluk hidup yang berakal budi, manusia hanya boleh kuat dan bermental baja. Padahal, manusia juga memiliki emosi, salah satunya ditunjukkan dengan keluhan-keluhan. Menurutku, tak apa mengeluh, asalkan tidak berlebihan sampai ada yang dirugikan, baik diri sendiri maupun orang lain. Mengeluh itu baik, asalkan sesuai porsinya.

Tadinya aku termasuk anti-mengeluh-mengeluh-club. Bahkan suka gedeg sendiri kalau ada orang yang mengeluh padaku, walaupun selalu coba kuhalau dengan berusaha untuk menghibur dan membesarkan hati orang itu. Namun semua itu terpatahkan oleh suatu siang yang terik.

Kala itu, aku menemukan sebuah lowongan pekerjaan sebagai editor cerpen. Seakan mendapatkan angin surga, aku sangat tertarik pada lowongan itu. Karena aku (ngakunya) cukup tergila-gila dengan dunia literasi. Syaratnya hanya tiga: mengirimkan CV, menceritakan pengalaman selama berada di dunia literasi, dan contoh naskah cerpen yang pernah diedit.

Untuk syarat pertama dan kedua, tidak ada masalah. Namun, syarat ketiga itulah yang jadi masalah. Aku belum pernah bekerja sebagai editor naskah, tapi sangat-sangat ingin melakukan pekerjaan itu. Bahkan bisa dibilang, menjadi editor adalah salah satu pekerjaan impianku. Aku pun coba memutar otak. Yang dibutuhkan hanyalah “sebuah naskah cerpen minimal 5 halaman”. Cerpen. Spesifik sekali.

Aku tiba-tiba teringat seorang sahabat dekat yang masih sering kontak-kontakan denganku hingga saat ini. Kebetulan ia pernah menulis cerpen dan dibukukan. Sebut saja si L. Aku pun menghubunginya, meminta cerpennya dengan alasan ingin membacanya, tanpa ada sedikitpun niat untuk mengambil dan menggantinya menjadi karyaku. Respon dia, tidak mau. Alasannya, karena dia tidak percaya diri untuk menunjukkan karyanya pada orang lain. Dia hanya menjadikan itu sebagai koleksi pribadinya saja.

Tak kehabisan akal, aku coba menghubungi beberapa orang teman lain yang mungkin saja punya karya berupa cerpen atau mungkin punya teman penulis cerpen. Hasilnya, nihil. Aku pun kembali lagi membujuk si L. Responnya masih sama. Ia menambahkan, ia sendiri pun bahkan malu membaca karyanya, apalagi membiarkan orang lain untuk membacanya. Padahal aku sedang tidak ingin menilai karyanya. Yang aku inginkan hanya “wujud” karya itu saja. Beberapa orang teman menyarankan aku untuk membuat saja cerpen sendiri. Tapi masalahnya, yang aku butuhkan adalah YANG SUDAH DIBUKUKAN.

Dalam keadaan yang cukup menegangkan itu, aku menangis karena kecewa pada si L. Kecewa pada kehidupan yang sedang tidak berpihak padaku. Pun kecewa pada diriku sendiri. Sebenarnya aku tidak boleh memaksa si L untuk menyerahkan karyanya. Dia punya hak untuk menolak. Di sisi lain, ada beberapa teman lain yang menganggap penolakan si L itu sangat keterlaluan. Dia dianggap seolah tidak ingin melihat temannya meraih impiannya. Dia tidak ingin membantu temannya sama sekali, dia tega sekali, kata temanku yang lain.

Sebenarnya salahku juga, karena ingin berbuat curang. Ingin mencoba mengelabui orang lain demi keuntungan pribadi. Mungkin kehidupan sengaja tidak berpihak padaku agar aku tetap di jalan yang benar.

Dari pengalaman ini aku sadar, mengeluh itu tidak apa-apa, asalkan pada orang-orang yang tepat. Salah satu hal yang patut aku syukuri adalah memiliki orang-orang itu, orang-orang sebagai tempat aku mengeluh yang merasa tidak apa-apa saat aku mengeluh, bahkan siap untuk menghibur dan membesarkan hatiku.

Posting Komentar

0 Komentar