Advertisement

DUNIA ADALAH PANGGUNG SANDIWARA #30DaysWritingChallenge


Dunia ini panggung sandiwara

Ceritanya mudah berubah

...

Setiap kita dapat satu peranan

Yang harus kita mainkan

...

Ada peran wajar

Dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara?

Mengapa kita bersandiwara?


Nampaknya, penggalan lirik lagu Panggung Sandiwara di atas cukup mewakili apa yang aku alami setahun belakangan ini. Sebelumnya, setiap kali menyenandungkan lagu tersebut, aku hanya sekadar menyanyi, tanpa menghayati tiap bait liriknya. Namun, setelah mengalami beberapa kejadian dan mengenal orang-orang baru dalam hidupku, lirik lagu tersebut menjadi bermakna.

Aku mulai cemplung ke dalam dunia kerja formal sejak pertengahan tahun 2020. Dan mulai dari situ pengalaman hidupku bertambah lagi. Aku diberi kesempatan untuk berkenalan dengan orang-orang baru dan tentunya karakter-karakter baru. Seperti yang sudah pernah aku ceritakan dalam blog ini—termasuk ini sudah menjadi rahasia umum, dunia kerja itu cukup kejam. Di dalamnya penuh sikut-sikutan. Orang yang di depan kita bersikap manis, bisa saja menjadi orang yang diam-diam menusuk kita dari belakang. Hal seperti tidaklah mengherankan.

Aku yang merasa sudah lebih tercerahkan, sikap kompetitif sudah bukan ranahku lagi. Bagiku, zaman sekarang adalah zaman kolaborasi, bukan kompetisi. Bagiku, saling sikut dan bersaing—apalagi secara licik—merupakan cara primitif. Namun, ternyata apa yang aku ekspektasikan, tidak serta-merta sesuai dengan realita yang ada. Orang-orang yang aku hadapi adalah orang-orang yang masih melestarikan cara-cara yang sudah aku tinggalkan. Dan ternyata masih membudaya. Makin terlihat kamu lemah, makin menjadikan kamu sebagai sasaran empuk untuk mereka pecundangi. Setidaknya, itulah yang aku amati.

Salah satu kejadian yang tiba-tiba terlintas dalam pikiranku adalah tatkala aku dibohongi oleh seorang rekan kerja. Sebut saja si E. Dia ini ramah dan baik, bahkan paling humble di antara rekan yang lain. Suatu hari, saat menjelang pergantian SK kerja, kami agak was-was. Takut kontrak kerja kami tidak diperpanjang. Fyi, persaingan di tempat kami lumayan ketat. Dalam suasana yang begitu tegang, si E mengirimiku pesan WhatsApp yang berisi sebuah lowongan pekerjaan di tempat lain. Dia juga menjanjikan aku mengenalkan aku dengan orang-orang dari komunitas yang khusus di bidang keilmuanku di provinsi kami. Untuk opsi pertama, aku curiga dia mengusirku secara halus. Dia menghendaki aku cari kerja saja di tempat lain agar pesaing di tempat kami berkurang satu orang, yaitu aku. Dan untuk opsi kedua, sebenarnya aku cukup senang, karena itu salah satu harapanku demi memperkaya dan memperluas pengalaman dan koneksi.

Tibalah SK yang baru, keluar. Namaku dan nama si E tetap ada, namun dalam posisi jabatan yang berbeda. Pendek kata, si E turun jabatan, aku justru naik jabatan. Si E langsung ngambek dan tiba-tiba tidak seramah sebelumnya. Ia juga lupa dengan janjinya padaku untuk mengenalkan aku dengan komunitas keilmuanku. Intinya, semuanya berubah.

Sekira 6 bulan berselang, tiba-tiba secara diam-diam muncul SK baru lagi, dan itu cukup mengagetkan. Dan, yang berubah adalah posisiku dan si E. Ternyata hanya kami berdua yang bertukar posisi. Yang lainnya tetap sama.

Seketika saja aku memutuskan untuk mundur. Mengetahui aku mundur, si E tiba-tiba mengirimiku pesan WhatsApp berisi permintaan maaf karena telah mengambil posisiku. Aku yang tidak mau ribet, hanya menanggapinya dengan biasa-biasa saja dan mengatakan bahwa alasan mundurnya aku bukan karena hal itu. Entah apa yang telah terjadi sehingga bisa seperti itu. Si E melakukan cara seperti apa, aku tidak tahu. Aku pun berlalu dalam diam sambil menyadari bahwa ini akan dijadikan sebagai pengalaman.

Dari kejadian itu, aku banyak memperoleh pelajaran hidup, terutama mengenai karakter manusia. Peran manusia. Aku jadi tahu bahwa dalam situasi tertentu, seseorang bisa berbalik arah dalam bersikap. Integritas? Apa itu? Tidak ada integritas dalam kamus seperti ini. Dalam meraih ambisinya, seseorang bisa saja menghalalkan segala cara, walaupun harus menginjak harga diri orang lain. Untungnya, si E bukan lingkaran terdekatku. Di lingkaran terdekatku tidak ada manusia yang seperti itu.

Selama ini, aku hanya tahu kalimat “Ada orang yang senang ketika melihat orang lain jatuh” tanpa mengalaminya sendiri. Namun, sekarang aku sudah mengalaminya.

Sungguh, dunia ini memang panggung sandiwara. Frasa milik Jaques, tokoh ciptaan Shakespeare, sekaligus dijadikan lagu oleh God Bless ini benar-benar valid.

Posting Komentar

0 Komentar