Lebih dari setengah umurku, aku sering menemui kejadian yang berhubungan dengan ketimpangan dalam gender.

Lingkungan tempat aku bertumbuh merupakan lingkungan yang homogen dan konservatif terkait agama. Mungkin ini juga dirasakan oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di pelosok daerah-daerah. Memang sudah menjadi sesuatu yang umum ketika keluarga, khususnya orang tua, mengajarkan hal-hal yang baik kepada anaknya. Di samping itu, cara mendidik anak laki-laki dan anak perempuan itu amat dibedakan. Hal ini diamini oleh masyarakat, karena itu sudah terjadi turun-temurun.

Saat aku masih menjadi bocah yang belum genap 10 tahun, aku terima-terima saja, bahkan belum berpikir bahwa ada yang aneh dari sistem itu. Namun, saat aku kelas 2 SMP dan adik bungsuku lahir, dan saat itu usiaku hampir 13 tahun, aku mulai menemukan kejanggalan. Karena ibuku bekerja--seperti juga bapakku--dan aku sebagai anak sulung perempuan yang selalu dibebankan tugas merawat adik bungsu, maka kadang tugas-tugas domestik juga dibebankan padaku dalam rangka membantu ibuku.

Pernah suatu kali aku protes pada ibu, kenapa selalu aku yang diperlakukan seperti itu? Misalnya saat aku mengeluh karena capek bermain dengan adik bungsu dan ingin agar gantian dengan adik laki-lakiku yang nomor dua dalam bermain dengan adik bungsu. Alasan ibuku waktu itu, karena aku adalah perempuan. Saat aku melakukan kesalahan saat di dapur, seperti salah memotong sayuran atau salah memasukkan gula atau garam, ibuku selalu menceramahiku bahwa perempuan itu harus pintar dalam urusan dapur. Kalau banyak salah-salahnya, maka tidak akan disayang suami.

Pada contoh kasus pertama, jawaban ibuku itu selalu membuat aku bingung. Kenapa untuk urusan mengasuh harus dibedakan oleh gender dan itu selalu dibebankan kepada perempuan? Ibuku kadang mencari-cari alasan lain seperti membandingkan aku dengan dirinya saat ia kecil dulu. Ibuku juga anak sulung perempuan dan ia yang sering merawat adik-adiknya dulu. Tapi kenapa kesannya seperti balas dendam? Kenapa orang lain juga harus merasakan seperti yang ia rasakan?

Kemudian pada contoh kasus kedua, pada saat itu aku terima-terima saja. Saat itu aku berpikir, mungkin karena budaya di lingkunganku memang seperti itu, jadi ya sudahlah. Selain itu, aku tidak memiliki cukup pengalaman atau referensi sebagai pembanding, saat itu.

Setelah aku dewasa dan mulai tahu banyak hal, aku semakin yakin bahwa ada yang tidak beres dalam relasi gender. Butuh waktu berpuluh-puluh tahun agar aku sampai pada tahap ini. Sempat juga menyerah dan berusaha untuk menerima dengan cara “ya hidup memang seperti ini”. Namun, hati dan pikiranku menolak. Bagiku, ini harus diubah, minimal dimulai dari lingkungan terdekatku. Sebelum aku bisa mengubahnya dalam lingkup yang besar, lebih dahulu aku harus mengubah dalam lingkungan terdekat dan terkecilku.