Akhir-akhir ini aku banyak menemui orang-orang yang selalu ingin mendominasi dan mengendalikan orang lain. Seolah mendominasi orang lain adalah sebuah prestasi bagi mereka. Sangat jarang sekali ada orang yang bisa menghargai pilihan dan keputusan hidup orang lain. Ada saja cara-cara yang mereka lakukan demi menguasai orang lain.
Karena aku perempuan, biasanya yang melakukan ini adalah laki-laki terhadap perempuan, dan aku pernah di posisi yang (ingin) didominasi itu.
Aku mengenal seseorang yang cukup progresif (pada masanya). Sebut saja si A. Melalui perbincangan di sebuah cafe pada suatu malam, ia mencoba mengulik aku. Dari sana lah, ia langsung menebak dan tahu apa prinsip dan ideologi yang aku pegang. Dan ideologi kami ternyata mirip. Namun sayangnya, itu dulu. Pendek kata, kami punya prinsip yang sama, walaupun kami mengalami switching yang berlainan arah. Dia mengaku, melihat aku saat ini mengingatkan ia pada zaman ia kuliah dulu.
Ia sekarang sudah tidak seprogresif dulu, melainkan berpindah haluan. Mungkin lebih realistis. Walaupun aku agak sangsi bahwa progresivitasnya dulu hanya ikut-ikutan belaka. Ia berusaha mendekatiku, dengan cara menceritakan masalah-masalah hidupnya (lagu lama lah, ya!) dan mendukung prinsipku.
Kami pun dekat. Banyak hal yang kami bicarakan. Kami saling menolong di kala susah. Namun jiwa skeptisku masih tak hilang. Beberapa kali aku coba bertanya, apa motif dia mendekati aku? Karena di usia yang sudah bukan anak-anak lagi, manusia cenderung tidak ingin banyak basa-basi dan tidak ingin buang-buang waktu dan tenaga. Dan biasanya, orang yang tulus berbuat baik tanpa pamrih itu semakin jarang ditemukan. Jawaban dia hanya satu: karena dia menyukaiku.
Seiring waktu dan kedekatan kami, aku makin tidak tenang dan makin ragu. Aku banyak menemukan kejanggalan pada dirinya. Karena aku punya prinsip dan masih menganggap ia mendukung prinsipku itu, ia makin lama makin tidak jelas. Di beberapa pertemuan kami yang terakhir, ia selalu berubah-ubah. Kadang bersikap manis, kadang bersikap acuh tak acuh, dan makin jauh dari ekspektasiku dalam mendukung prinsipku. Bahkan terkesan ingin mengubah aku untuk berpindah haluan seperti dia. Dia ingin melemahkan dan mengendalikan aku.
Sebenarnya beberapa indikasi itu sudah terlihat bahkan dari awal-awal kami dekat, namun saat itu aku belum menyadarinya. Pernah suatu kali ia bercerita dengan bangga bahwa ia pernah berhasil membujuk seseorang untuk mengikuti apa yang ia anut. Sekarang aku baru sadar bahwa ternyata ia gemar menaklukkan orang lain agar tunduk padanya.
Mungkin ia sadar bahwa aku tidak gampang didominasi, ia pun mencoba mengikuti ritme aku. Ia mulai menghargai (bahkan cenderung membiarkan) keputusan-keputusanku, namun berusaha mencari sesuatu yang menguntungkan bagi dia. Hingga aku sadar, aku seperti dimanfaatkan oleh dia.
Akhirnya, setelah melalui perenungan yang cukup lama, aku putuskan untuk pergi dari hidupnya. Aku pikir, aku tidak akan bahagia jika bersamanya. Dan aku tidak menyesalinya, bahkan bersyukur bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
Nah, ada lagi pengalaman serupa.
Aku mengenal seseorang lagi. Sebut saja si B. Ia merupakan sosok yang lumayan sudah banyak makan asam garam kehidupan. Aku menganggap dia sebagai mentor dalam hal tertentu.
Dari beberapa kali pertemuan, aku kenal dia sebagai pribadi yang agak religius lewat tindakan, walaupun dalam beberapa kesempatan kadang seksis dan misoginis--suatu sikap yang seharusnya bertolak belakang, namun jika melihat interpretasi teks-teks agama ya tidak mengherankan. Ia adalah tipikal generasi X yang selalu membangga-banggakan dirinya dan prestasinya.
Namun, ada satu hal yang membuatku agak terganggu selama berinteraksi dengan dia. Setelah aku flashback, ternyata ia suka mengarang-ngarang cerita untuk menciptakan opini dan reaksi orang lain. Ia membangun semua itu berdasarkan asumsi liarnya. Awalnya aku terpancing. Namun, setelah tahu polanya, aku jadi mengerti dan mulai bisa membaca karakter orang ini.
Setelah sedikit mengenali dia, aku jadi berkesimpulan bahwa dia tipikal orang yang ingin mendominasi orang lain juga, tapi dengan cara yang halus. Jika membandingkan antara si A dengan si B, cara si A lebih kasar dan terang-terangan dibandingkan dengan cara si B.
Dua contoh pengalaman di atas adalah bukti nyata bahwa budaya patriarki masih mengakar sangat kuat di negara kita. Banyak laki-laki yang ingin mendominasi perempuan dengan cara apapun. Bahkan di era teknologi informasi sekarang ini--dimana orang-orang sudah mulai concern terhadap isu kesetaraan gender--pun mereka masih ingin menancapkan kuku-kuku kekuasaannya terhadap perempuan. Maskulinitas yang rapuh ya memang begitu. Bagaimana menurutmu?
0 Komentar