Akhir-akhir ini, aku lagi membatasi diri untuk bermain di
media sosial. Alasanku setidaknya ada dua. Yang pertama, pesatnya perkembangan
teknologi (terutama media sosial) ternyata masih sangat jauh
dibandingkan dengan para penggunanya. Semakin lama semakin kacau aja.
Hate speech lah, hoax lah, berantem lah, sindir-sindiran lah, dan
sebagainya. Aku jadi pengen kembali ke tahun-tahun ketika pengguna
internet di Indonesia masih jarang, paling kalo mau buka internet itu ya
ke warnet. Buka YouTube masih suka buffering, ...
Yang
kedua, aku ingin membatasi diri dari orang-orang yang suka men-judge
orang lain. Parah memang. Aku gak terbiasa men-judge orang lain, jadinya
risih kalo ada yang men-judge diriku. Aku gak suka menyakiti perasaan orang lain, layaknya aku juga gak suka disakiti, walaupun hanya lewat perkataan.
Banyak orang yang bertindak seolah-olah dia tau kehidupan orang yang ia hakimi itu.
"Kamu kan begini, kamu kan begitu. Jadi kamu harus begini, bla bla bla.."
Kalo
udah begini, biasanya aku cuma diam dan pura-pura senyum. Padahal dalam
hati pengen bilang, "Koq jadi kamu yang lebih tau hidupku? Kenal juga
baru kemarin".
Aneh banget.
Ingin
rasanya aku jelasin semuanya tentang diriku. Tapi mereka gak bakalan
peduli juga. Jadi aku biarkan aja mereka dengan anggapan-anggapan yang
udah tertanam dalam pikirannya.
Apalagi tentang
keluarga. Sebisa mungkin aku tutup rapat-rapat, karena bukan untuk
konsumsi publik. Toh gak ada yang peduli juga, ya kan? Tapi ya risikonya
aku bakal diperlakukan sesuai dengan apa yang mereka lihat.
Penampilanku kayak gembel, ya pasti mereka memperlakukanku kayak gembel
juga. Mereka gak mungkin peduli latar belakangnya gimana dan sebagainya.
Pada
intinya, semua orang itu egois. Mereka hanya mementingkan diri sendiri.
Mereka peduli pada orang lain hanya pada saat butuh aja. Lebih tepatnya
sih pura-pura peduli.
Aku heran, mereka gak takut dosa apa gimana sih? Dosa lho menyakiti hati orang lain.
Posting sesuatu, ada aja komentarnya; pamer lah, curhat lah, dll.
Hapus-hapusin postingan juga, ada lagi komentarnya; galau lah, ditanyain lah, dll.
Kita menghilang juga dicariin. Kita sering muncul malah di-judge.
Pernah
kejadian waktu karaokean, pas aku lagi nyanyi, ada seorang teman yang
nyeletuk, "Aku sih karaokean gini gak harus bagus suaranya, kan kita
cuma datang happy-happy".
Dalam hati aku bilang, "Bilang aja lu sirik karena suara gw bagus! 😎".
Giliran
aku gak mau nyanyi (bukan di hari yang sama), dia malah maksa-maksa
harus nyanyi. Jadinya aku nyanyi ogah-ogahan gitu deh. Serba salah
hamba! Judge aja terus sampe kau puas! 😒
Berbicara
mengenai rasisme, sebenarnya di belahan bumi manapun pasti ada rasisme,
gak hanya di Indonesia aja. Aku pun lumayan sering menjadi 'korban'.
Mungkin bagi yang cuek, rasisme itu hal sepele. Tapi rasisme itu kan
udah menyinggung sesuatu yang sebenarnya gak bakalan bisa diubah karena
emang pemberian Tuhan, misalnya warna kulit, lahir dari suku apa, bentuk
wajah, dan sebagainya.
Kemarin, ada seorang
teman yang curcol di kolom komentar postingan Instagram ku tentang
pengalaman dia sebagai korban sukuisme. Aku rasa wajar ia tersinggung.
Trus pengalamanku sendiri, banyak dan lumayan sering.
"Kamu asli mana?"
"Beneran kamu asli sana?"
"Di rumah masaknya pake apa? Pake tungku?"
"Di sana ada sinyal gak?"
"Ke sini naik apa? Naik kuda?"
"Di sana ada bandara?"
Dll.
Pada
awalnya, memang kesel. Tapi karena udah lumayan sering, reaksiku hanya
senyum aja. Dan aku anggap hanya basa-basi aja. Basa-basi busuk lebih
tepatnya. Walaupun dalam hati rasanya dongkol sekali dan pengen jawab
satu-satu.
"Aku asli India"
"Gak bener, aku asli Alaska"
"Di rumah masaknya pake obor"
"Ada, sinyal radio"
"Naik capung"
"Gak ada bandara, adanya cuma lapangan golf"
Basa-basi yang sungguh busuk dan gak berfaedah sama sekali sodara-sodaraaa..
Maksudku
gini, pertanyaan-pertanyaan mendasar kayak gini kan gak harus
ditanyakan. Emangnya kalo asal aku dari mana gitu kamu langsung gak mau
temenan apa gimana? Trus mau masak pake apa juga apa urusan kamu?
Sama-sama manusia, punya anggota tubuh, sama-sama makan kalo lapar,
minum kalo haus, boker kalo kebelet, tidur kalo ngantuk. Gak ada yang
aneh koq. Apalagi sama-sama orang Indonesia, harusnya kurang-lebihnya
udah tau lah masing-masing. Kecuali kalo misalnya kamu kalo ngantuk ya
tidur, aku kalo ngantuk ya salto, misalnya. Hahaha.
Ada lagi nih yang lumayan kayak minta di-sleding.
Orang itu: "Kamu dari sana ya? Kenal si anu gak?"
Aku: "Gak kenal"
Orang itu: "Yang bapaknya kepala dinas apa gitu"
Aku: "Gak kenal"
Orang itu: "Oh kirain kenal orang-orang penting gitu"
Ya
elah mas, lu kira daerah sono itu segede upil trus orang-orangnya dikit
dan saling kenal gitu? Trus apa urusan lu juga kenal-orang-penting sama
gak-kenal-orang-penting? Aneh banget standar lu! Berarti lu ngerasa gak
level gitu ngobrol sama orang yang gak-kenal-orang-penting? Lucu
sekali.
Pernah juga baru-baru ini, pas musibah gempa Lombok, si penjaga kost basa-basi gak penting gini:
Penjaga kost: "Kamu asalnya dari sana kan?"
Aku: "Iya pak"
Penjaga kost: "Gimana gempa kemarin? Parah gak? Soalnya saya liat di TV tuh parah banget. Keluarga gimana?"
Aku
bingung dong jawabnya. Dampak gempa terparah memang di Lombok, bukan
berarti asal ku dari Lombok, tapi masih di provinsi yang sama.
Jangan-jangan dia ini termasuk penganut daerah-sono-itu-segede-upil,
jadi 1 provinsi itu dikira kecil aja, kalo ada gempa itu kena semua
gitu. Aneh banget!
Akhirnya aku cuma jawab
singkat, "Hehe, iya pak", padahal dalam hati, "Suka-suka lu deh pak",
karena dia ini suka memotong pembicaraan, kayak takut gak kebagian
ngobrol.
Akhirnya aku
memilih kembali nge-blog lagi. Ada atau gak ada yang baca, itu gak
terlalu penting, karena hanya ingin mengeluarkan uneg-uneg aja. Justru
lebih bagus, karena gak akan ada yang men-judge. Postingan kali ini
isinya sebenarnya lebih ke curhat sih. Hahaha.
Karena ini lumayan udah mengendap beberapa hari dan minggu terakhir, jadi sayang aja kalo dipendam. Ntar jadi penyakit lho!
Sekian.
0 Komentar