Beberapa hari yang lalu, aku nonton sebuah video (atau
mendengar audio) motivasi di salah satu channel YouTube dengan tajuk
"Kenapa orang tidak menghargai kita?". Isi video itu kurang-lebih sama
dengan apa yang sedang aku alami akhir-akhir ini. Banyak sekali orang
yang hanya menilaiku dari tampilan luarku saja tergantung dari latar
belakang orang yang menilai tersebut. Fyi, penampilanku sehari-hari
cukup sederhana dan tidak berlebihan. Itu semuanya aku sesuaikan dengan
situasi dan tempat. Misalnya ke kampus, pake kemeja atau tunik, celana
jeans, kerudung segiempat atau pashmina, sepatu flat, dan tas ransel
atau selempang. Kalo keluar sebentar, seperti ke warteg atau mini market
biasanya cuma kaos oblong dan cardigan (kadang hoodie), kerudung bergo,
celana jeans, dan sandal jepit. Itu saja. Prinsipku, selama aku nyaman
dan tidak merasa risih, tidak perlu 'mahal'. Masalahnya adalah,
orang-orang yang aku temui seringkali memperlakukanku sesuai dengan apa
yang aku kenakan. Mungkin di mata mereka aku adalah orang tak mampu
sehingga bajunya aja itu-itu aja. Mungkin ya, mungkin.
Sebenarnya apa yang aku kenakan itu bukan tanpa alasan. Banyak sekali alasan kenapa aku berpenampilan sederhana selain karena nyaman tadi.
Sebenarnya apa yang aku kenakan itu bukan tanpa alasan. Banyak sekali alasan kenapa aku berpenampilan sederhana selain karena nyaman tadi.
1.)
Aku belum punya penghasilan sendiri. Rasanya malu kalo penampilan
terlihat 'wah' dengan duit orangtua. Kalo udah punya penghasilan sendiri
kan bebas-bebas aja dan orangtua pun gak terbebani.
2.)
Kalopun aku mampu beli (pakaian bagus, barang mahal, gadget keren,
dsb), aku merasa sayang duitnya, toh semua barang itu ujung-ujungnya
bakalan jadi sampah juga. Oleh karena itu, biasanya aku lebih suka
memakai barang sampe barang itu benar-benar rusak. Baju sampe warnanya
pudar, sandal sampe tipis (atau hilang), sepatu sampe bolong, handphone
sampe rusak, dsb. Dan juga, seperti yang aku yakini, apa yang kita
miliki di dunia, nantinya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Termasuk pakaian, maybe(?).
3.) Aku lebih
cenderung meningkatkan kualitas otak daripada tampilan luar, karena
biasanya aku sendiri suka menilai orang dari wawasan dan
intelektualitasnya, bukan penampilannya.
4.) Aku
pernah mencoba berpenampilan (lumayan) keren dan terlihat rapi. Tapi apa
yang aku dapat? Ada beberapa celetukan dari orang-orang seperti: "Udah
deh, cewek tuh di dapur aja", "Udah deh, cewek tuh bikin laporan aja,
gak usah bikin peta", "Kamu ngapain aja sih di sini? Nyari cowok?".
Dengan alasan itu semua, akhirnya aku memutuskan untuk jadi diri sendiri apa adanya aja.
Mungkin
aku aneh. Entahlah. Baru kali ini aku menceritakan atau mengeluarkan
uneg-uneg ku tentang hal ini. Selama ini aku hanya menyimpannya
rapat-rapat dalam otakku.
Pernah beberapa kali,
Bapakku protes ke Ibuku karena Ibu dinilai gak mampu membelikan pakaian
yang bagus untukku. Bapak juga pernah bilang ke Ibu bahwa celanaku
itu-itu aja. Bahkan pernah suatu kali kami bertiga (Bapak, Ibu, dan aku)
mau ke RS dan aku disuruh ganti baju sama Bapak gara-gara bajuku
terlihat kurang layak menurutnya. Hahaha.. Ada-ada aja.
Mungkin
orang-orang yang menilaiku sama seperti Bapak: pakaianku itu-itu aja.
Tapi ya gimana yak? Rasanya aneh kalo aku harus melanggar prinsipku
sendiri.
Ada juga
seorang teman yang sepertinya dari gelagatnya itu cukup terlihat bahwa
ia menilai penampilanku. Buktinya adalah, dia memperlakukanku seperti
'babu', karena ia anak orang kaya dan mungkin merasa dirinya 'lebih
tinggi'. Selain itu, dia gak pernah membicarakan tentang fashion
denganku. Mungkin karena dari penampilanku saja dia langsung berasumsi
bahwa aku gak akan nyambung kalo bahas fashion. Ckckck...
Ya sudahlah, itu terserah sih.
Ada
kejadian lucu (dan aneh?) lain terkait kesederhanaanku ini. Kejadian
ini terjadi sekitar bulan Juni lalu kalo gak salah ingat. Fyi, aku saat
itu baru saja beberapa bulan pindah kos. Biasanya, aku selalu menyimpan
alas kaki yang sering aku pake persis di depan pintu kamarku. Di situ
biasanya ada sandal jepit sw*llow dan sepatu cr*cs KW. Tapi karena
ukuran kedua alas kaki tsb cukup jauh berbeda, mungkin bagi orang yang
baru melihatnya akan mengira bahwa kedua barang tsb bukan milik 1 orang.
Fyi, ukuran sendal jepit nya lumayan besar dibandingkan sepatunya.
Mungkin akan dikira sendal milik cowok. Nah, tiba-tiba di suatu malam,
bapak penjaga kos ngetok pintu kamarku, nanyain duit pecahan 50.000 dua
lembar. Ceritanya dia mau nuker duit. Aku awalnya kaget, karena gak
biasanya dia ngetok pintu malem-malem. Dan pada saat itu pintu kamarku
gak kututup rapat dan aku lagi gak pake kerudung.
Aku pun keluar.
"Mbak, ada duit 50rb dua?"
"Ada, Pak".
Aku
pun masuk untuk mengambil lembaran pecahan 50.000 dua lembar, kemudian
keluar lagi untuk menyerahkan duit tsb untuk ditukarkan.
"Makasih, Mbak", katanya.
"Sama-sama, Pak".
Aku heran.
Pikiranku
langsung tertuju ke sendal jepit jelek segede gaban yang nangkring
depan kamar. Mungkin itu penyebabnya. Mungkin dikira aku memasukkan
cowok ke dalam kamar. Ada-ada aja.
Sendal jepit
ini dulunya dibelikan oleh adikku di Kediri. Karena seperti yang udah
aku jelaskan sebelumnya bahwa aku menganut prinsip sederhana, sendal
jepit di sini gak ada yang murah. Aku merasa sayang aja kalo sendal
jepit doang harus mahal-mahal. Hahaha. Akhirnya, berhubung pada saat itu
adikku masih ada di Kediri, dia nawarin untuk membelikan sendal jepit
untukku seharga 5.000 perak, walaupun ukurannya segede helm. Begitulah
sejarahnya.
Intinya
adalah, aku merasa nyaman menjadi diriku sendiri. Percuma bagus menurut
orang lain tapi diri kita gak merasa nyaman. Toh orang lain mungkin saja
hanya basa-basi tanpa benar-benar peduli. Bahkan banyak juga yang
pura-pura peduli padahal hanya ingin memanfaatkan kita saja. Selain itu,
percuma juga tampilan luarnya bagus, tapi hatinya gak bagus dan
wawasannya kurang luas. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa suatu hari
nanti aku akan lebih menyesuaikan lagi penampilanku dengan harapan
kejadian-kejadian unik tidak terjadi lagi, asalkan aku sudah mampu
memilikinya dengan hasil kerja kerasku sendiri tanpa membebani orang
lain terutama orangtuaku.
Terlepas dari itu
semua, seharusnya kita sebagai manusia saling menghargai satu sama lain
tanpa memandang apa yang disandang oleh orang lain, seperti agama, ras,
suku, golongan, termasuk penampilan.
0 Komentar