Advertisement

HAMBAR #30DaysWritingChallenge

Januari ini merupakan bulan ke-6 sejak aku resign dari pekerjaan pada Juli lalu. Sebenarnya masa kontrak kerjaku hanya sampai Desember 2021, sesuai dengan yang tertera dalam SK. Artinya, Januari ini merupakan awal aku hidup tanpa beban, dalam hal ini yaitu SK itu.

Sebenarnya aku resign tanpa berkabar pada keluarga, karena aku takut "dirujak" oleh keluarga. Namun sebenarnya hanya segelintir saja anggota keluarga yang tahu. Seperti misalnya beberapa sepupu dan adik kandungku, termasuk ibuku. Aku mencoba bertahan di kota rantauan dengan berbekal cukup uang tanpa berniat membebani keluarga. Kalau aku pulang di tengah jalan, sedangkan keluarga tahu bahwa aku bekerja dengan SK yang berlaku sampai Desember, aku memilih tetap di kota rantauan sampai masa berlaku SK itu habis. 

Dengan alasan seperti itu, Januari ini sebenarnya aku sudah bisa pulang. Toh tak ada masalah juga. Tapi ada banyak pertimbangan yang membuat aku tetap bertahan di sini. 

Yang pertama, aku tidak betah di rumah. Kalau aku pulang dan selamanya menetap di sana, kota itu tidak menjanjikan apa-apa. Selain itu, keadaan juga tidak memungkinkan. 

Yang kedua, aku masih berharap untuk bekerja dan menetap di sini, di kota rantauan. Walaupun nasibku belum jelas juga di sini, tapi setidaknya kondisinya lebih baik daripada tempat asalku--menurutku.

Yang ketiga, ada seorang teman yang menyarankan untuk pindah dan mencari pekerjaan di kota lain. Kata dia, karakter dan kepribadian aku tidak cocok dengan tempat asalku maupun kota rantauan yang saat ini aku berada di dalamnya.

Aku bertahan di sini bukan berarti hanya ongkang-ongkang kaki saja, melainkan masih berusaha dalam mencari penghidupan yang lebih layak. Walaupun semuanya serba tak menentu--dalam hal pekerjaan--tapi aku masih berharap ada angin segar yang mulai berembus dan membawa kabar gembira. 

Ibuku pernah menyatakan kesedihannya karena aku resign dari pekerjaan, bahkan ia menceritakan bahwa bibiku menyesalkan sikap aku yang dengan gampangnya resign padahal banyak sekali orang di luar sana yang mati-matian mencari pekerjaan. Aku tahu bahwa itu adalah suara hati ibu yang sebenarnya, bukan bibiku. 

Awalnya aku ceritakan semua kronologis beserta alasan kenapa aku resign. Bahkan aku berusaha menghiburnya dengan berkata, "Lebih baik resign tapi hidup jadi tenang, daripada tetap kerja dengan penuh tekanan tapi uangnya habis untuk ke psikolog".

Kami sempat diam-diaman, aku marah-marah karena menilai ibu terlalu banyak mengatur. Tapi ya sudahlah, toh semuanya sudah terjadi dan tidak akan kembali seperti sediakala. Menanggapi sikapku yang keras, ibu hanya bisa mengutuki penyebab aku resign itu. 
Ibu sempat menawarkan solusi, tapi aku menolaknya. Karena menurutku, solusi yang ibu tawarkan itu hanya akan menambah masalah itu semakin ruwet.

Hingga sampailah menjelang masa berlaku SK itu berakhir pada Desember lalu, ibu masih saja menawarkan solusi yang sama. Akhirnya aku tidak bisa menolaknya. 

Yang aku rasakan sekarang hanyalah rasa hambar, seolah tak ada jalan lain lagi selain menerima tawaran ibu. Dan yang akan terjadi, terjadilah. Hambar.

Posting Komentar

0 Komentar