Pada pertengahan 2020, tiba-tiba ia mengirimkan DM ke akun Instagram-ku, sekadar say hello. Responku biasa-biasa saja, karena memang pertemanan kami biasa-biasa saja. Aku beberapa kali mikir, apa yang bisa membuat kami nyambung? Bidang keilmuan kami beda, selera musik kami beda, hobi kami beda, concern kami juga beda. Semuanya berbeda. Satu-satunya hal yang sama hanyalah suku kami saja.
Karena banyaknya perbedaan itu membuatku kurang bersemangat ketika ngobrol dengannya. Namun, sejak menjalin kembali komunikasi pada 2020 itu, meski dalam intensitas yang relatif jarang, ia termasuk kawan yang masih berkomunikasi denganku--mengingat bahwa semakin dewasa usia seseorang, maka jumlah teman juga makin sedikit.
Pada obrolan-obrolan kami belakangan ini, awalnya topik pembahasan kami juga masih seperti dulu, tidak terlalu serius. Dia masih suka ngomong seenaknya padaku. Kadang mengumpat dengan kedok bercanda. Namun semakin ke sini semakin deep dan makin hati-hati. Ia merasa, aku telah banyak berubah. Lebih dewasa dan serius, katanya.
Hingga akhirnya, dia meminta izin untuk mengajukan beberapa pertanyaan padaku, salah satunya adalah "Mana fase hidup yang paling membahagiakan bagimu?".
Dengan mantap kujawab, "Saat merantau di Kota S."
"Alasannya?", tanya dia lagi.
"Karena di kota itu aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa takut dihakimi. Orang-orangnya juga selow, nggak rempong sama urusan orang lain. Beda halnya dengan di Kota Anu dan di Kota Anu, mungkin karena berdekatan, karakter orang-orangnya sama; sama-sama tukang nyinyir, gila urusan, gampang menghakimi orang lain, sehingga aku harus hati-hati dalam bertindak karena takut dihakimi duluan. Oh, kamu begini, ya? Pasti kamu begini. Seperti itu. Belum apa-apa, mereka sudah menyimpulkan sendiri tanpa nanya lebih lanjut. Hanya berasumsi berdasarkan secuil informasi yang seolah itu sudah mewakili dan menggambarkan keseluruhan dari objek asumsi mereka. Aku muak dengan semua itu. Sikap mereka menunjukkan betapa sempitnya pola pikir mereka.", jelasku panjang-lebar.
Dia hanya mengiyakan dan setuju dengan jawabanku. Sebagai tanda ia setuju, ia juga mengemukakan alasan yang hampir mirip dengan alasanku. Ia juga tidak menyukai kultur orang-orang di Kota Anu dan ingin menjalani hidup jauh dari orang-orang seperti itu.
Gila, pembicaraan mendalam kami seperti katarsis bagiku. Aku tidak menyangka masih ada orang seperti ini, yang aneh seperti diriku. Yang masih terbilang idealis dalam menjalani hidup yang aneh ini.
0 Komentar