Perkenalanku dengan buku dimulai sejak SD. Kalau tidak salah, kelas 3 SD. Aku tumbuh dan besar di keluarga guru. Lebih tepatnya keluarga dari Bapakku. Kakek, Bapak, dan empat saudaranya berprofesi sebagai guru. Sehingga dari kecil aku sudah dicekoki dengan banyak bacaan. Bibi-bibiku sering membawakan aku beberapa buku ke rumah--selain di sekolah tentunya. Begitupun ketika aku bermain ke rumah bibi, aku selalu diberi bahan bacaan dan disuruh bawa pulang ke rumah.
Di rumah, Bapak juga sering mewanti-wanti aku untuk belajar, apalagi menjelang ulangan catur wulan. Di hari-hari biasa pun tetap harus belajar, minimal dilihatnya aku sedang membaca. Saat itu Bapak juga sedang berlangganan beberapa majalah. Aku jadi tak kehabisan bahan bacaan. Itu terjadi hingga aku SMA.
Saat kuliah, kebetulan aku memilih jurusan eksakta yang sangat spesifik. Itu membuatku hanya menggunakan seluruh waktuku untuk kuliah dan sudah sangat jarang membaca buku yang beragam--jika dibandingkan dengan saat aku sekolah dulu. Kalaupun membaca buku selain bahan kuliah, paling cuma novel, itu pun hasil meminjam dari teman dan kalau sempat saja.
Pertemuan kembali aku dengan buku dimulai sejak aku ingin belajar tentang feminisme pada akhir 2018. Awalnya hanya berbekal postingan-postingan beberapa akun di Instagram. Kemudian makin lama aku merasa bahwa itu saja tidak cukup, jadi aku harus membaca buku dan memperkaya pengetahuan dan wawasanku. Maka mulailah aku membeli 2 buku berjudul "Perempuan di Titik Nol" karya Nawal el-Saadawi dan "Feminisme untuk Pemula" karya Marisa Rueda, Marta Rodriguez, dan Susan Alice Watkins.
Namun, ada seorang kawan yang nyeletuk, "Umur-umur sekarang tuh udah bukan waktunya lagi baca buku yang kayak gitu. Sekarang tuh waktunya baca novel aja. Bacaan kayak gitu mah bacaan zaman kuliah aja."
Entahlah, aku agak kaget dengan celetukannya. Agak sangsi juga, apakah ia serius atau bercanda dengan pernyataannya itu. Tapi akhirnya aku jadi mikir setelah itu.
Yang pertama, bisa saja aku terima argumen kawanku itu, namun aku punya alasan kenapa baru sekarang membaca buku-buku "yang bikin mikir". Karena saat kuliah dulu, aku lebih disibukkan dengan tugas-tugas kuliah. Sehingga tidak punya waktu untuk hal-hal lain, termasuk menyelami pemikiran-pemikiran orang lain lewat buku.
Yang kedua, aku curiga pada kawanku itu, jangan-jangan ia hanya ingin menurunkan semangat membacaku dengan tujuan agar aku tidak membaca buku-buku "yang bikin mikir" dan sengaja menjauhkan aku dari pemikiran-pemikiran tertentu.
Tapi akhirnya, aku melawan saran kawanku itu dengan mengatakan pada diri sendiri bahwa tidak ada aturan dalam membaca buku. Mau umur berapapun, zaman seperti apapun, laki-laki maupun perempuan, siapapun berhak membaca buku apapun yang ingin ia baca. Dan seseorang tidak berhak mengatur-atur bahan bacaan orang lain. Apalagi sampai book shaming seperti itu.
Maka di sinilah aku sekarang, mulai memperbanyak bahan bacaan, terutama buku. Dalam sehari selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, walaupun cuma 1 halaman. Rasanya, ada kepuasan tersendiri saat menenggelamkan diri dalam dunia literasi. Dan aku mulai tidak peduli dengan omongan orang lain. Membaca adalah healing terbaik untuk saat ini.
0 Komentar